Rabu, 08 Juli 2015

Hasil Kajian Puisi Tapi Karya Sutardji Calzoum Bachri Berdasarkan Teori Semiotik



HASIL ANALISIS PUISI “TAPI” KARYA SUTARDJI CALZOUM BACHRI
BERDASARKAN TEORI SEMIOTIK
Disusun oleh:
Diana Kusumawati (13010113130161)


1.    Semiotik
1.1.        Pengertian Semiotik
Semiotika (semiotik) berasal dari kata Yunani semeion, berarti “tanda”. Istilah semeion diturunkan dari ilmu medik hipokratik atau asklepiadik, dan mengacu pada simtomatologi dan diagnostik inferensial (Sobur, 2004: 95). Untuk selanjutnya, semiotik digunakan untuk menamai suatu cabang ilmu yang mempelajari tanda dan segala hal yang berhubungan dengan tanda. Lebih tepatnya, semiotik mengkaji tentang tanda untuk menemukan makna dibalik tanda tersebut.
Dua tokoh semiotik yang paling dikenal yaitu Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Pierce. Kedua tokoh tersebut memiliki fokus yang sama, yaitu tanda. Hanya saja, dalam menyajikan teori, terdapat beberapa perbedaan diantara keduanya. Saussure menyebut ilmu tentang tanda sebagai semiologi, sedangkan Pierce menyebutnya sebagai semiotik/ semiotika. Saussure membagi tanda menjadi dua komponen yaitu signifier (citra bunyi) dan signified (konsep). Pierce membagi tanda berdasarkan sifatnya menjadi tiga kelompok, yakni qualisign, sinsign, dan legisign.
Kajian Pierce dianggap lebih terperinci daripada kajian Saussure yang programatis.  Proses pemaknaan tanda yang digunakan Pierce, mengikuti hubungan antara tiga titik yaitu representamen (R), object (O), interpretant (I). O adalah tanda. R berupa bagian tanda yang dipersepsi secara mental atau fisik, merujuk pada sesuatu yang diwakili O. I bagian proses penafsiran antara R dan O. Model tanda yang digunakan Pierce termasuk model trikotomis atau triadik, tanpa ada ciri-ciri struktural. Pierce juga membedakan tanda menjadi ikon, indeks, dan simbol.

1.2.        Semiotika Puisi
1.2.1.    Semiotika Puisi Riffaterre
1.2.1.1.        Significance
Semiotika Riffaterre yang dikutip Rokhmansyah (2014:104-109), membedakan antara meaning (arti) dan significance (makna). Arti merupakan sesuatu yang dirujuk teks pada tataran mimetik. Makna merupakan kepaduan formal dan semantik. Pemberian arti pada tataran mimetik ini didasarkan pada sintaks dan posisi. Untuk memperoleh makna, teks yang telah diartikan tersebut ditransformasikan ke tataran yang lebih tinggi, yaitu tataran semiosis (proses pemaknaan di dalam ilmu semiotik).
Selain arti dan makna dibedakan, Riffaterre juga membedakan pembacaan menjadi dua jenis, yakni pembacaan heuristik dan pembacaan retroaktif (hermeneutik). Pembacaan heuristik merupakan pembacaan tahap awal. Pengartian teks didasarkan pada kompetensi linguistik yang dimiliki pembaca. Kemudian, arti tersebut dicermati, pada tahap ini pemberian arti membutuhkan pemahaman secara kiasan. Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan tahap kedua. Pembaca meninjau, merevisi, dan membandingkan ke belakang apa yang baru dibacanya. Sehingga, bisa diartikan, unit arti mungkin berupa kata, frasa, atau kalimat, sedangkan unit makna berupa teks secara keseluruhan.

1.2.1.2.        Produksi Tanda
Tanda puitik  merupakan tanda yang merujuk ke kelompok kata yang ada sebelumnya. Sehingga, tanda puitik dipengaruhi oleh derivasi hiprogramatik dan mempengaruhi significance. Hipogram dibentuk dari seme kata. Hipogram mungkin juga dibentuk dari kata-kata klise dan sistem deskriptif. Kata-kata klise dan sistem deskriptif ini adalah bagian dari kompetensi linguistik pembaca, dan konotasi kesastraan yang telah melekat di dalamnya.
Seme kata adalah inti dari arti sebuah kata. Seme kata bisa difungsikan seperti ensiklopedia representasi yang berhubungan dengan arti kata.

1.2.1.3.        Produksi Teks
Teks diproduksi oleh konversi dan ekspansi. Konversi menetapkan ekivalen dengan mentransformasikan beberapa tanda menjadi satu tanda kolektif, dengan memberi komponen rangkaian itu fitur ciri-ciri yang sama. Aturan ekspansi adalah mentransformasikan konstituen kalimat matriks ke bentuk yang lebih kompleks.
Ekspansi dibentuk oleh sekuen bersifat pengulangan, yang melayani penciptaan rima serta penyisipan wacana deskriptif ke dalam naratif.  Ekspansi juga memasukkan perubahan gramatikal dari konstituen kalimat model ke dalam teks.
Konversi dapat mempengaruhi teks sebagai satu tanda hanya jika deskriptif sistem ditransformasikan ke kode dengan permutasi tanda-tandanya. Oleh karena itu, sistem ini merupakan grid metonimi yang berbentuk seputar kata inti, komponennya memiliki penanda yang sama sebagaimana kata itu.

1.2.1.4.        Interpretant
 Interpretan merupakan gagasan yang dihasilkan oleh objek melalui proses penafsian. Riffaterre membedakan lexematic interpretant dan textual interpretant. Lexematic interpretant adalah kata-kata mediasi, dan atau dual signs, karena menghasilkan dua teks sekaligus atau harus dipahami dengan dua cara. Textual interpretan yaitu teks mediasi, baik kutipan atau sindiran dalam puisi. Textual interpretant ini bisa berupa kalimat persembahan. Biasanya, kalimat persembahan terdapat di luar larik-larik puisi.

1.2.2.    Teori Strata Norma Roman Ingarden
Teori Roman Ingarden yang dikemukakan Wellek (melalui Pradopo, 2007:14-21) meliputi lima unsur, yaitu:

1.2.2.1.        Lapis Bunyi (Sound Stratum)
Suara dihasilkan melalui konvensi bahasa. Suara dibentuk sedemikian rupa hingga menimbulkan arti. Kehadiran suara dalam sebuah puisi bukan hal sia-sia. Melalui suara, arti atau maksud puisi bisa ditangkap oleh para pembaca. Hanya saja, dalam puisi, lapis bunyi ditujukan pada pola-pola bunyi yang bersifat istimewa dan memiliki efek puitis.

1.2.2.2.        Lapis Arti (Unit of Meaning)
Rangkaian fonem, suku kata, frasa, kalimat, alinea, bait, bab, dan seluruh cerita adalah beberapa bentuk dari lapis arti. Bentuk-bentuk tersebut merupakan satuan arti.

1.2.2.3.        Lapis Dunia Pengarang
Lapis dunia pengarang meliputi unsur-unsur yang dikemukakan pengarang sehingga dapat membentuk sebuah cerita atau lukisan. Unsur-unsur tersebut dapat berupa latar, pelaku, objek-objek yang ditampilkan, dan dunia (cerita) yang diciptakan pengarang itu sendiri.

1.2.2.4.        Lapis Dunia
Lapis dunia dipandang dari titik pandang tertentu yang tidak perlu dinyatakan, tetapi terkandung di dalamnya (implied). Lapis dunia diasumsikan penyusun sebagai hasil penafsiran dari puisi tersebut. Jika lapis arti hanya mengkaji arti keseluruhan teks puisi di tingkat awal, penafsiran berada di tingkat yang lebih tinggi sehingga pengkajiannya lebih mendalam.

1.2.2.5.        Lapis Metafisis
Lapis metafisis berupa sifat-sifat metafisis yang sublim, tragis, mengerikan, dan suci. Melalui sifat-sifat tersebut, pembaca diberikan renungan atau kontemplasi. Akan tetapi, tidak semua puisi memiliki lapis metafisis.

2.    Puisi “Tapi” Karya Sutardji Calzoum Bachri
TAPI

aku bawakan bunga padamu
tapi kau bilang masih
aku bawakan resahku padamu
tapi kau bilang hanya
aku bawakan darahku padamu
tapi kau bilang cuma
aku bawakan mimpiku padamu
tapi kau bilang meski
aku bawakan dukaku padamu
tapi kau bilang tapi
aku bawakan mayatku padamu
tapi kau bilang hampir
aku bawakan arwahku padamu
tapi kau bilang kalau
tanpa apa aku datang padamu
wah!
(Sutardji, 1981:91)

3.    Hasil Pengkajian Puisi Berdasarkan Teori Semiotik
Puisi tidak cukup dikaji secara struktural, melainkan perlu dikaji lebih lanjut secara semiotika. Untuk itu, puisi “TAPI” karya Sutardji di atas akan dibahas dari segi struktural terlebih dahulu, lalu dianalisis berdasarkan lapis norma Ingarden, baru kemudian dikaji lebih lanjut menggunakan teori semiotika puisi Riffaterre.

3.1.        Analisis Struktural Puisi “TAPI”
Puisi “TAPI” lebih banyak memuat blank symbol. Blank symbol menurut Hermintoyo (2014:37), merupakan kata-kata yang sering dipakai atau maknanya secara umum sudah diketahui atau klise. Pada baris pertama menggunakan simbol bunga (sebagai natural symbol juga), yang mengungkapkan keindahan, keharuman, kecantikan, atau cinta (untuk bunga yang diberikan kepada kekasih). Kata resah mengungkapkan kekhawatiran, kegundahan, kegelisahan, atau rasa tidak tenang. Kata darahku mengungkapkan makna luka, penderitaan, perjuangan, kepedihan. Kata mimpiku mewakili arti cita-cita, keinginan, anga-angan, harapan. Kata dukaku mewakili makna tangisan, kesedihan, kekecewaan, penyesalan. Kata mayatku bisa dimaknai pengorbanan, penyerahan sukarela (pasrah). Kata arwahku dimaknai sebagai kebebasan, kepulangan, pelepasan.
Puisi disajikan dalam bentuk pertentangan (kontradiksi). Pertentangan itu terlihat dari penggunaan kata tapi disertai pertentangan kondisi (secara arti) di baris pertama dan kedua, baris ketiga dan keempat, begitu seterusnya. Tokoh aku membawakan bunga tetapi tokoh kamu hanya bilang masih. Ketika dibawakan resah, darah, mimpi, duka, mayat, arwah, tanggapan tokoh kamu masih sama seperti awal ketika dibawakan bunga. Akan tetapi, ketika tokoh aku tidak membawa apa pun, tanggapan tokoh kamu justru berbeda yaitu wah. Secara ringkas, puisi tersebut dapat diartikan sebagai hubungan manusia dengan Tuhan. Manusia datang kepada Tuhan (secara konotasi, artinya bisa dalam bentuk beribadah, atau meninggal dan kembali kepada Tuhan) dalam keadaan tidak membawa apa pun, kecuali amal dan ibadahnya.

3.2.        Analisis Semiotik Puisi”TAPI”
3.2.1.    Analisis Lapis Norma Roman Ingarden
Pemaknaan puisi berdasarkan lapis norma Ingarden terdiri dari lima lapis. Lapis pertama yaitu lapis bunyi. Puisi “TAPI” dominan menggunakan vokal u di setiap akhir baris ganjil, dan vokal a serta vokal i di setiap akhir baris genap. Penekanan makna dilakukan dengan mengulang kata-kata aku bawakan … padamu, tapi kau bilang …. Lapis kedua yaitu lapis arti. Secara keseluruhan kalimat, puisi ini menceritakan berbagai interaksi yang dilakukan tokoh aku dan tokoh kamu, yang sekilas seperti sepasang kekasih. Berbagai hal dibawakan tokoh aku untuk menyenangkan tokoh kamu ketika bertemu. Akan tetapi justru tokoh kamu senang (wah) ketika aku tidak membawa apa-apa. Lapis ketiga yaitu lapis dunia pengarang. Tokoh yang dihadirkan dalam puisi tersebut adalah aku dan kamu. Objek-objek yang ditampilkan berupa bunga, resah, darah, mimpi, duka, mayat, arwah. Lapis keempat berupa lapis dunia. Lapis dunia dalam puisi tersebut adalah hubungan antara manusia dan Tuhannya. Manusia akan kembali kepada Tuhannya dalam keadaan kosong, tanpa membawa apa pun. Lapis kelima yaitu lapis metafisis. Melalui lapis ini, pembaca merenungkan isi puisi. Menurut ajaran agama (yang diketahui penulis adalah Islam), memang benar manusia meninggal tanpa membawa apa pun (harta benda, jabatan, dll). Manusia dihadapan Tuhan yang dinilai hanyalah amal dan ibadahnya selama di dunia.

3.2.2.    Analisis Semiotik Riffaterre
Pemaknaan puisi dengan teori Riffaterre mencakup empat cara, yaitu melalui ekspresi tidak langsung, pembacaan heuristik dan hermeunetik/ retroaktif, mencari matrik, dan mencari hipogram. Akan tetapi, dalam pembahasan kali ini, penyusun hanya menggunakan dua cara yaitu pertama, ekspresi tidak langsung, kedua, pembacaan heuristik dan hermeneutic/ retroaktif.

3.2.2.1.        Ekspresi Tidak Langsung
Karya sastra menurut Riffaterre yang dikutip Pradopo (2013: 124) adalah hasil ekspresi yang tidak langsung, menyatakan gagasan dengan cara lain. Ketaklangsungan ekspresi tersebut disebabkan oleh penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti (distorting of meaning) dan penciptaan arti (creating of meaning).
Penyimpangan arti pada puisi “TAPI” lebih mudah ditemukan (dominan). Penggunaan kata-kata seperti bunga, resah, darah, mimpi, mayat, arwah memiliki berbagai macam arti bagi para pembaca puisi tersebut, tergantung pada pengalaman dan kemampuan masing-masing pembaca. Hal ini yang disebut ambiguitas, yaitu menimbulkan berbagai makna. Tokoh aku membawakan  bunga (keindahan, cinta) tetapi kamu bilang masih (belum cukup). Ketika aku membawakan keresahannya (ketidaknyamanannya), kamu bilang hanya (hanya itu?belum cukup). Saat aku membawa darah (pengorbanan), kamu bilang meski (sebanyak apa pun, belum cukup). Aku membawa mimpi (cita-cita), tetapi kamu bilang tapi (itu belum juga cukup). Aku membawakan mayatnya (seluruh hidup, penyerahan dirinya), kamu menanggapi hampir (cukup, tetapi masih belum sempurna). Aku membawakan arwah (kepulangan, kebebasan), kamu masih bilang kalau (saja, tetapi tidak kan?) Akhirnya aku datang tanpa membawa apa pun, kamu bilang wah (bisa berarti wah-kagum, bisa berarti wah-keterlaluan). Segala hal yang dibawa aku untuk kamu tidak berarti sama sekali. Semua itu tidak cukup, tidak sempurna di mata kamu. Tetapi ketika aku tidak membawa apa pun, tanggapan kamu menjadi lain. Bisa berarti kamu kesal (wah-keterlaluan), atau kamu ingin mengungkapkan persetujuan (wah-bagus/kagum).

3.2.2.2.        Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik
Seperti yang telah disebutkan pada penjelasan sebelumnya, pembacaan heuristik merupakan pembacaan tahap awal. Sajak dibaca berdasarkan struktur kebahasaannya. Untuk itulah, kemampuan linguistik pembaca diperlukan pada tahap ini. Secara sekilas, pembacaan heuristik menurut penyusun hampir sama dengan memparafrasakan puisi ke dalam prosa. Hasil pembacaan heuristik sebagai berikut:
Aku bawakan bunga padamu, tapi kau bilang masih (belum cukup). Aku bawakan resahku padamu, tapi kau bilang hanya (itu yang bisa kau bawa?). Aku bawakan darahku padamu, tapi kau bilang meski (darah kau beri, tetap belum cukup). Aku bawakan mimpiku padamu, tapi kau bilang tapi (itu hanya mimpi, belum cukup). Aku bawakan mayatku padamu, tapi kau bilang hampir (cukup, tetapi belum sempurna). Aku bawakan arwahku padamu, tapi kau bilang kalau (saja, tetapi tidak kan?). (Akhirnya) tanpa apa (pun) aku datang padamu, (kau bilang) wah! (entah bagus atau tidak).
Pembacaan hermeneutik atau retroaktif adalah sistem semiotik tingkat kedua. Setelah pembacaan heuristik, puisi dibaca ulang dengan bacaan retroaktif, baru kemudian ditafsirkan melalui pembacaan hermeneutik berdasarkan konvensi satra (puisi). Konvensi sastra yang dimaksud dalam puisi “TAPI” yaitu ketaklangsungan ekspresi (ambiguitas). Hasil pembacaan retroaktif dan hermeneutik adalah sebagai berikut:
Ketika manusia bertemu dengan Tuhannya (beribadah) dengan membawa keindahan (pakaian, harta benda-kemewahan) dan cinta yang tidak tulus atau murni dari hati, Tuhan menilai belum sempurna ibadahnya. Ketika manusia datang pada Tuhan dengan segala bentuk kekhawatirannya (disampaikan dalam doa), Tuhan mampu memberi jawaban atas semua masalah, bukan hanya menghilangkan kekhawatiran itu. Ketika manusia beribadah dengan segala pengorbanannya, Tuhan menjawab semua pengorbanan itu hanyalah pengorbanan kecil dibandingkan kebesaran-Nya. Ketika manusia beribadah dengan segala cita-citanya yang baik, Tuhan menilai cita-citanya barulah harapan (niat), belum dilaksanakan dan diperjuangkan. Ketika manusia mulai menyerah dan pasrah terhadap ketentuan Tuhan, Tuhan menilai ibadahnya hampir sempurna. Ketika manusia menyerahkan semua kepada-Nya (segalanya berpulang kepada-Nya), Tuhan menilai itu hanya “kalau”. Akan tetapi, ketika manusia beribadah/ kembali kepada-Nya tanpa merasa membawa apa pun, barulah Tuhan menerima ibadahnya atau arwahnya. Sebagai manusia, segala yang dimilikinya adalah milik Tuhan. Semua itu tidak akan berarti apa-apa untuk-Nya, karena Tuhan Maha Besar, memiliki apa yang tidak mungkin dimiliki manusia atau makhluk ciptaan-Nya yang lain. Ketika manusia menyadari kedudukannya adalah serendah-rendahnya sebagai seorang hamba, Tuhan menerimanya dengan segala amal ibadahnya.

4.    Daftar Pustaka
Bachri, Sutardji Calzoum. 1981. O, Amuk, Kapak. Jakarta: Sinar Harapan.
Hermintoyo, M. 2014. Kode Bahasa dan Sastra, Kalimat Metaforis Lirik Lagu Populer. Semarang: Gigih Pustaka Mandiri.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Pengkajian Puisi: Analisis Strata Norma dan Analisis Struktural dan Semiotik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
              . 2013. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rokhmansyah, Alfian. 2014. Studi dan Pengkajian Sastra; Perkenalan Awal Terhadap Ilmu Sastra. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sobur, Alex. 2004. Analisis Teks Media. Bandung: Remaja Rosdakarya.