HASIL
ANALISIS PUISI “TAPI” KARYA SUTARDJI CALZOUM BACHRI
BERDASARKAN
TEORI SEMIOTIK
Disusun
oleh:
Diana
Kusumawati (13010113130161)
1.
Semiotik
1.1.
Pengertian Semiotik
Semiotika (semiotik) berasal dari kata
Yunani semeion, berarti “tanda”. Istilah
semeion diturunkan dari ilmu medik hipokratik atau asklepiadik, dan mengacu
pada simtomatologi dan diagnostik inferensial (Sobur, 2004: 95). Untuk
selanjutnya, semiotik digunakan untuk menamai suatu cabang ilmu yang
mempelajari tanda dan segala hal yang berhubungan dengan tanda. Lebih tepatnya,
semiotik mengkaji tentang tanda untuk menemukan makna dibalik tanda tersebut.
Dua tokoh semiotik yang paling dikenal
yaitu Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Pierce. Kedua tokoh tersebut
memiliki fokus yang sama, yaitu tanda. Hanya saja, dalam menyajikan teori,
terdapat beberapa perbedaan diantara keduanya. Saussure menyebut ilmu tentang
tanda sebagai semiologi, sedangkan Pierce menyebutnya sebagai semiotik/
semiotika. Saussure membagi tanda menjadi dua komponen yaitu signifier (citra bunyi) dan signified (konsep). Pierce membagi tanda
berdasarkan sifatnya menjadi tiga kelompok, yakni qualisign, sinsign, dan
legisign.
Kajian Pierce dianggap lebih
terperinci daripada kajian Saussure yang programatis. Proses pemaknaan tanda yang digunakan Pierce,
mengikuti hubungan antara tiga titik yaitu representamen
(R), object (O), interpretant (I). O adalah tanda. R berupa bagian tanda yang
dipersepsi secara mental atau fisik, merujuk pada sesuatu yang diwakili O. I
bagian proses penafsiran antara R dan O. Model tanda yang digunakan Pierce
termasuk model trikotomis atau triadik, tanpa ada ciri-ciri struktural. Pierce
juga membedakan tanda menjadi ikon, indeks, dan simbol.
1.2.
Semiotika Puisi
1.2.1. Semiotika
Puisi Riffaterre
1.2.1.1.
Significance
Semiotika Riffaterre yang dikutip
Rokhmansyah (2014:104-109), membedakan antara meaning (arti) dan significance
(makna). Arti merupakan sesuatu yang dirujuk teks pada tataran mimetik. Makna
merupakan kepaduan formal dan semantik. Pemberian arti pada tataran mimetik ini
didasarkan pada sintaks dan posisi. Untuk memperoleh makna, teks yang telah
diartikan tersebut ditransformasikan ke tataran yang lebih tinggi, yaitu
tataran semiosis (proses pemaknaan di dalam ilmu semiotik).
Selain arti dan makna dibedakan,
Riffaterre juga membedakan pembacaan menjadi dua jenis, yakni pembacaan
heuristik dan pembacaan retroaktif (hermeneutik). Pembacaan heuristik merupakan
pembacaan tahap awal. Pengartian teks didasarkan pada kompetensi linguistik
yang dimiliki pembaca. Kemudian, arti tersebut dicermati, pada tahap ini
pemberian arti membutuhkan pemahaman secara kiasan. Pembacaan hermeneutik
adalah pembacaan tahap kedua. Pembaca meninjau, merevisi, dan membandingkan ke
belakang apa yang baru dibacanya. Sehingga, bisa diartikan, unit arti mungkin
berupa kata, frasa, atau kalimat, sedangkan unit makna berupa teks secara
keseluruhan.
1.2.1.2.
Produksi Tanda
Tanda puitik merupakan tanda yang merujuk ke kelompok kata
yang ada sebelumnya. Sehingga, tanda puitik dipengaruhi oleh derivasi
hiprogramatik dan mempengaruhi significance.
Hipogram dibentuk dari seme kata. Hipogram mungkin juga dibentuk dari kata-kata
klise dan sistem deskriptif. Kata-kata klise dan sistem deskriptif ini adalah
bagian dari kompetensi linguistik pembaca, dan konotasi kesastraan yang telah
melekat di dalamnya.
Seme kata adalah inti dari arti sebuah
kata. Seme kata bisa difungsikan seperti ensiklopedia representasi yang
berhubungan dengan arti kata.
1.2.1.3.
Produksi Teks
Teks diproduksi oleh konversi dan
ekspansi. Konversi menetapkan ekivalen dengan mentransformasikan beberapa tanda
menjadi satu tanda kolektif, dengan memberi komponen rangkaian itu fitur
ciri-ciri yang sama. Aturan ekspansi adalah mentransformasikan konstituen kalimat
matriks ke bentuk yang lebih kompleks.
Ekspansi dibentuk oleh sekuen bersifat
pengulangan, yang melayani penciptaan rima serta penyisipan wacana deskriptif
ke dalam naratif. Ekspansi juga
memasukkan perubahan gramatikal dari konstituen kalimat model ke dalam teks.
Konversi dapat mempengaruhi teks
sebagai satu tanda hanya jika deskriptif sistem ditransformasikan ke kode
dengan permutasi tanda-tandanya. Oleh karena itu, sistem ini merupakan grid
metonimi yang berbentuk seputar kata inti, komponennya memiliki penanda yang
sama sebagaimana kata itu.
1.2.1.4.
Interpretant
Interpretan merupakan gagasan yang dihasilkan
oleh objek melalui proses penafsian. Riffaterre membedakan lexematic interpretant dan textual
interpretant. Lexematic interpretant adalah kata-kata mediasi, dan atau
dual signs, karena menghasilkan dua teks sekaligus atau harus dipahami dengan
dua cara. Textual interpretan yaitu
teks mediasi, baik kutipan atau sindiran dalam puisi. Textual interpretant ini bisa berupa kalimat persembahan. Biasanya,
kalimat persembahan terdapat di luar larik-larik puisi.
1.2.2. Teori
Strata Norma Roman Ingarden
Teori Roman Ingarden yang dikemukakan
Wellek (melalui Pradopo, 2007:14-21) meliputi lima unsur, yaitu:
1.2.2.1.
Lapis Bunyi (Sound Stratum)
Suara dihasilkan melalui konvensi
bahasa. Suara dibentuk sedemikian rupa hingga menimbulkan arti. Kehadiran suara
dalam sebuah puisi bukan hal sia-sia. Melalui suara, arti atau maksud puisi
bisa ditangkap oleh para pembaca. Hanya saja, dalam puisi, lapis bunyi
ditujukan pada pola-pola bunyi yang bersifat istimewa dan memiliki efek puitis.
1.2.2.2.
Lapis Arti (Unit of Meaning)
Rangkaian fonem, suku kata, frasa,
kalimat, alinea, bait, bab, dan seluruh cerita adalah beberapa bentuk dari
lapis arti. Bentuk-bentuk tersebut merupakan satuan arti.
1.2.2.3.
Lapis Dunia Pengarang
Lapis dunia pengarang meliputi unsur-unsur
yang dikemukakan pengarang sehingga dapat membentuk sebuah cerita atau lukisan.
Unsur-unsur tersebut dapat berupa latar, pelaku, objek-objek yang ditampilkan,
dan dunia (cerita) yang diciptakan pengarang itu sendiri.
1.2.2.4.
Lapis Dunia
Lapis dunia dipandang dari titik
pandang tertentu yang tidak perlu dinyatakan, tetapi terkandung di dalamnya
(implied). Lapis dunia diasumsikan penyusun sebagai hasil penafsiran dari puisi
tersebut. Jika lapis arti hanya mengkaji arti keseluruhan teks puisi di tingkat
awal, penafsiran berada di tingkat yang lebih tinggi sehingga pengkajiannya
lebih mendalam.
1.2.2.5.
Lapis Metafisis
Lapis metafisis berupa sifat-sifat
metafisis yang sublim, tragis, mengerikan, dan suci. Melalui sifat-sifat
tersebut, pembaca diberikan renungan atau kontemplasi. Akan tetapi, tidak semua
puisi memiliki lapis metafisis.
2. Puisi
“Tapi” Karya Sutardji Calzoum Bachri
TAPI
aku bawakan bunga padamu
tapi kau
bilang masih
aku bawakan resahku padamu
tapi kau
bilang hanya
aku bawakan darahku padamu
tapi kau
bilang cuma
aku bawakan mimpiku padamu
tapi kau
bilang meski
aku bawakan dukaku padamu
tapi kau
bilang tapi
aku bawakan mayatku padamu
tapi kau
bilang hampir
aku bawakan arwahku padamu
tapi kau
bilang kalau
tanpa apa aku datang padamu
wah!
(Sutardji, 1981:91)
3. Hasil
Pengkajian Puisi Berdasarkan Teori Semiotik
Puisi tidak cukup dikaji secara
struktural, melainkan perlu dikaji lebih lanjut secara semiotika. Untuk itu,
puisi “TAPI” karya Sutardji di atas akan dibahas dari segi struktural terlebih
dahulu, lalu dianalisis berdasarkan lapis norma Ingarden, baru kemudian dikaji
lebih lanjut menggunakan teori semiotika puisi Riffaterre.
3.1.
Analisis Struktural Puisi “TAPI”
Puisi “TAPI” lebih banyak memuat blank symbol. Blank symbol menurut Hermintoyo (2014:37), merupakan kata-kata yang
sering dipakai atau maknanya secara umum sudah diketahui atau klise. Pada baris
pertama menggunakan simbol bunga
(sebagai natural symbol juga), yang
mengungkapkan keindahan, keharuman, kecantikan, atau cinta (untuk bunga yang
diberikan kepada kekasih). Kata resah
mengungkapkan kekhawatiran, kegundahan, kegelisahan, atau rasa tidak tenang.
Kata darahku mengungkapkan makna
luka, penderitaan, perjuangan, kepedihan. Kata mimpiku mewakili arti cita-cita, keinginan, anga-angan, harapan.
Kata dukaku mewakili makna tangisan,
kesedihan, kekecewaan, penyesalan. Kata mayatku
bisa dimaknai pengorbanan, penyerahan sukarela (pasrah). Kata arwahku dimaknai sebagai kebebasan,
kepulangan, pelepasan.
Puisi disajikan dalam bentuk
pertentangan (kontradiksi). Pertentangan itu terlihat dari penggunaan kata tapi disertai pertentangan kondisi
(secara arti) di baris pertama dan kedua, baris ketiga dan keempat, begitu
seterusnya. Tokoh aku membawakan
bunga tetapi tokoh kamu hanya bilang masih. Ketika dibawakan resah, darah, mimpi, duka, mayat, arwah,
tanggapan tokoh kamu masih sama
seperti awal ketika dibawakan bunga.
Akan tetapi, ketika tokoh aku tidak
membawa apa pun, tanggapan tokoh kamu
justru berbeda yaitu wah. Secara
ringkas, puisi tersebut dapat diartikan sebagai hubungan manusia dengan Tuhan. Manusia
datang kepada Tuhan (secara konotasi, artinya bisa dalam bentuk beribadah, atau
meninggal dan kembali kepada Tuhan) dalam keadaan tidak membawa apa pun, kecuali
amal dan ibadahnya.
3.2.
Analisis Semiotik Puisi”TAPI”
3.2.1. Analisis
Lapis Norma Roman Ingarden
Pemaknaan puisi berdasarkan lapis
norma Ingarden terdiri dari lima lapis. Lapis pertama yaitu lapis bunyi. Puisi
“TAPI” dominan menggunakan vokal u di setiap akhir baris ganjil, dan vokal a
serta vokal i di setiap akhir baris genap. Penekanan makna dilakukan dengan
mengulang kata-kata aku bawakan … padamu, tapi kau bilang …. Lapis kedua yaitu
lapis arti. Secara keseluruhan kalimat, puisi ini menceritakan berbagai interaksi
yang dilakukan tokoh aku dan tokoh kamu, yang sekilas seperti sepasang kekasih.
Berbagai hal dibawakan tokoh aku untuk menyenangkan tokoh kamu ketika bertemu.
Akan tetapi justru tokoh kamu senang (wah) ketika aku tidak membawa apa-apa.
Lapis ketiga yaitu lapis dunia pengarang. Tokoh yang dihadirkan dalam puisi
tersebut adalah aku dan kamu. Objek-objek yang ditampilkan berupa bunga, resah,
darah, mimpi, duka, mayat, arwah. Lapis keempat berupa lapis dunia. Lapis dunia
dalam puisi tersebut adalah hubungan antara manusia dan Tuhannya. Manusia akan
kembali kepada Tuhannya dalam keadaan kosong, tanpa membawa apa pun. Lapis
kelima yaitu lapis metafisis. Melalui lapis ini, pembaca merenungkan isi puisi.
Menurut ajaran agama (yang diketahui penulis adalah Islam), memang benar
manusia meninggal tanpa membawa apa pun (harta benda, jabatan, dll). Manusia
dihadapan Tuhan yang dinilai hanyalah amal dan ibadahnya selama di dunia.
3.2.2. Analisis
Semiotik Riffaterre
Pemaknaan puisi dengan teori
Riffaterre mencakup empat cara, yaitu melalui ekspresi tidak langsung,
pembacaan heuristik dan hermeunetik/ retroaktif, mencari matrik, dan mencari
hipogram. Akan tetapi, dalam pembahasan kali ini, penyusun hanya menggunakan
dua cara yaitu pertama, ekspresi tidak langsung, kedua, pembacaan heuristik dan
hermeneutic/ retroaktif.
3.2.2.1.
Ekspresi Tidak Langsung
Karya sastra menurut Riffaterre yang
dikutip Pradopo (2013: 124) adalah hasil ekspresi yang tidak langsung,
menyatakan gagasan dengan cara lain. Ketaklangsungan ekspresi tersebut disebabkan
oleh penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti (distorting of
meaning) dan penciptaan arti (creating of meaning).
Penyimpangan arti pada puisi “TAPI”
lebih mudah ditemukan (dominan). Penggunaan kata-kata seperti bunga, resah,
darah, mimpi, mayat, arwah memiliki berbagai macam arti bagi para pembaca puisi
tersebut, tergantung pada pengalaman dan kemampuan masing-masing pembaca. Hal
ini yang disebut ambiguitas, yaitu menimbulkan berbagai makna. Tokoh aku
membawakan bunga (keindahan, cinta)
tetapi kamu bilang masih (belum cukup). Ketika aku membawakan keresahannya
(ketidaknyamanannya), kamu bilang hanya (hanya itu?belum cukup). Saat aku
membawa darah (pengorbanan), kamu bilang meski (sebanyak apa pun, belum cukup).
Aku membawa mimpi (cita-cita), tetapi kamu bilang tapi (itu belum juga cukup). Aku
membawakan mayatnya (seluruh hidup, penyerahan dirinya), kamu menanggapi hampir
(cukup, tetapi masih belum sempurna). Aku membawakan arwah (kepulangan,
kebebasan), kamu masih bilang kalau (saja, tetapi tidak kan?) Akhirnya aku
datang tanpa membawa apa pun, kamu bilang wah (bisa berarti wah-kagum, bisa
berarti wah-keterlaluan). Segala hal yang dibawa aku untuk kamu tidak berarti
sama sekali. Semua itu tidak cukup, tidak sempurna di mata kamu. Tetapi ketika aku
tidak membawa apa pun, tanggapan kamu menjadi lain. Bisa berarti kamu kesal
(wah-keterlaluan), atau kamu ingin mengungkapkan persetujuan (wah-bagus/kagum).
3.2.2.2.
Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik
Seperti yang telah disebutkan pada
penjelasan sebelumnya, pembacaan heuristik merupakan pembacaan tahap awal.
Sajak dibaca berdasarkan struktur kebahasaannya. Untuk itulah, kemampuan linguistik
pembaca diperlukan pada tahap ini. Secara sekilas, pembacaan heuristik menurut
penyusun hampir sama dengan memparafrasakan puisi ke dalam prosa. Hasil
pembacaan heuristik sebagai berikut:
Aku bawakan bunga padamu, tapi kau
bilang masih (belum cukup). Aku bawakan resahku padamu, tapi kau bilang hanya
(itu yang bisa kau bawa?). Aku bawakan darahku padamu, tapi kau bilang meski
(darah kau beri, tetap belum cukup). Aku bawakan mimpiku padamu, tapi kau
bilang tapi (itu hanya mimpi, belum cukup). Aku bawakan mayatku padamu, tapi
kau bilang hampir (cukup, tetapi belum sempurna). Aku bawakan arwahku padamu,
tapi kau bilang kalau (saja, tetapi tidak kan?). (Akhirnya) tanpa apa (pun) aku
datang padamu, (kau bilang) wah! (entah bagus atau tidak).
Pembacaan hermeneutik atau retroaktif
adalah sistem semiotik tingkat kedua. Setelah pembacaan heuristik, puisi dibaca
ulang dengan bacaan retroaktif, baru kemudian ditafsirkan melalui pembacaan hermeneutik
berdasarkan konvensi satra (puisi). Konvensi sastra yang dimaksud dalam puisi
“TAPI” yaitu ketaklangsungan ekspresi (ambiguitas). Hasil pembacaan retroaktif
dan hermeneutik adalah sebagai berikut:
Ketika manusia bertemu dengan Tuhannya
(beribadah) dengan membawa keindahan (pakaian, harta benda-kemewahan) dan cinta
yang tidak tulus atau murni dari hati, Tuhan menilai belum sempurna ibadahnya.
Ketika manusia datang pada Tuhan dengan segala bentuk kekhawatirannya (disampaikan
dalam doa), Tuhan mampu memberi jawaban atas semua masalah, bukan hanya
menghilangkan kekhawatiran itu. Ketika manusia beribadah dengan segala
pengorbanannya, Tuhan menjawab semua pengorbanan itu hanyalah pengorbanan kecil
dibandingkan kebesaran-Nya. Ketika manusia beribadah dengan segala cita-citanya
yang baik, Tuhan menilai cita-citanya barulah harapan (niat), belum
dilaksanakan dan diperjuangkan. Ketika manusia mulai menyerah dan pasrah
terhadap ketentuan Tuhan, Tuhan menilai ibadahnya hampir sempurna. Ketika
manusia menyerahkan semua kepada-Nya (segalanya berpulang kepada-Nya), Tuhan
menilai itu hanya “kalau”. Akan tetapi, ketika manusia beribadah/ kembali
kepada-Nya tanpa merasa membawa apa pun, barulah Tuhan menerima ibadahnya atau
arwahnya. Sebagai manusia, segala yang dimilikinya adalah milik Tuhan. Semua
itu tidak akan berarti apa-apa untuk-Nya, karena Tuhan Maha Besar, memiliki apa
yang tidak mungkin dimiliki manusia atau makhluk ciptaan-Nya yang lain. Ketika
manusia menyadari kedudukannya adalah serendah-rendahnya sebagai seorang hamba,
Tuhan menerimanya dengan segala amal ibadahnya.
4. Daftar
Pustaka
Bachri,
Sutardji Calzoum. 1981. O, Amuk, Kapak.
Jakarta: Sinar Harapan.
Hermintoyo, M.
2014. Kode Bahasa dan Sastra, Kalimat
Metaforis Lirik Lagu Populer. Semarang: Gigih Pustaka Mandiri.
Pradopo,
Rachmat Djoko. 2007. Pengkajian Puisi:
Analisis Strata Norma dan Analisis Struktural dan Semiotik. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.

Rokhmansyah,
Alfian. 2014. Studi dan Pengkajian
Sastra; Perkenalan Awal Terhadap Ilmu Sastra. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sobur, Alex. 2004. Analisis Teks Media. Bandung: Remaja
Rosdakarya.